Langsung ke konten utama

Artikel Peringatan Hari Kartini (Emansipasi & Eksistensi Wanita, Sudahkah Selaras?)

Emansipasi & Eksistensi wanita, sudahkah selaras?


      113 tahun dari sekarang, kita mengenal hari Kartini (21 April). Hari dimana seluruh wanita berbahagia karena mereka diakui, mereka mendapatkan emansipasinya. Berkat kegigihan RA Kartini lah semua ini terjadi. Wanita kaya, miskin, cantik, jelek, tua maupun muda mereka terbebas dari perbudakan, dari kurungan. Mereka tidak lagi risau takut bodoh karena RA Kartini telah menyediakan sekolah untuk para wanita. Para wanita tidak lagi menjadi budak pria,  mereka punya emansipasi, kedudukan yang sama dengan pria dalam semua bidang (Ekonomi, Politik, dan sebagainya).
     Zaman semakin berubah, peradaban pun berubah. Dulu, RA Kartini memulai perjuangannya dengan mengentas kebodohan wanita agar dapat mendidik anaknya dengan baik dan menyetarakan kedudukan wanita sama dengan pria. Mereka bisa melakukan yang bisa
dilakukan pria. RA Kartini mendirikan banyak sekolah untuk mendukung keinginannyawanita, mengangkat emansipasi.  Selain emansipasi wanita, RA Kartini juga menimbulkan yang dinamakan Eksistensi. Apa itu Eksistensi?
Bukan hanya kedudukan dan kesetaraan melainkan keberadaan. RA Kartini menunjukkan semua itu dalam segala hal, hingga sekarang. Mari Elka Pangestu (seorang ekonom kelas dunia) misalnya,  Susi Susanti (peraih piala emas Olimpiade Barcelona tahun 2002), Megawati Soekarnoputri (wanita pertama yang bpernah memerintah Negara).
         Disini sudah jelas bahwa Eksistensi juga turut andil didalam eemansipasi wanita. Apakah selama ini wanita tidak ada? ada. Yang dimaksud eksistensi disini yaitu mereka menjalankan tanggung jawab yang mereka emban, dengan begitu keberadaan mereka memang hakiki.
Tanggung jawab merupakan sesuatu yang teramat sulit untuk menjaganya, sebagian besar untuk seorang perempuan mengurus tanggung jawab terlihat sangat mudah. Tanggung jawab yang seperti apa?  Misalnya dalam kehidupan pribadi seorang wanita akan bertanggung jawab penuh untuk mengendalikan nafsu dan hatinya, menyeimbangkan nafsu dan logika lebih sulit lagi. Nafsu ingin membeli semua make up yang disuka, memilih setumpuk busana dan berpasang-pasangan sepatu dalam waktu sehari. Namun, logika berpikir bahwa yang demikian sama sekali bukan sesuatu yang baik. Yang pertama pemborosan dan yang kedua sayang tidak semua dipakai. Disini akan muncul tanggung jawab seorang wanita untuk menghentikan nafsu itu dan sebisanya melakukan penghematan.
         Dewasa ini, wanita banyak meninggalkan eksistensinya demi emansipasi. Harusnya eksistensi berjalan seimbang. wanita sebagai pengurus rumah tangga acap kali lupa bahwa pekerjaan mereka di rumah lebih besar, tapi karena emansipasi yang sudah dimiliki mereka lebih memilih dan nyaman berada serta berlama-lama di luar rumah untuk urusan kesetaraan. Pengusaha misalnya, sebagai pengusaha memang harusnya berada di kantor untuk mengontrol semua jalannya usaha, apalagi seorang wanita yang istingnya tinggi, mereka akan takut meninggalkan kantornya dan tiba-tiba usahanya bangkrut. Otomatis, seluruh perkerjaan dan tanggung jawab di rumah bukan lagi hal yang penting karena sudah ada asisten keluarga.  Banyak pula karena ketergenjotnya emansipasi wanita ini, wanita jadi menelantarkan anaknya.Bukan menelantarkan dalam arti sebenarnya melainkan tidak memperdulikan anaknya dan berujung pada penggunaan obat-obatan, perkelahian dan sebagainya.
Lain halnya dengan pria, mereka memang diciptakan untuk menghidupi keluarganya jadi tidak wajar jika wanita mati-matian keluar rumah hanya untuk menyetarakan (emansipasi) dengan laki-laki sedangkan kewajiban (eksistensi) ditinggalkan begitu saja.  Padahal RA Kartini memiliki dan mewujudkan emansipasi wanita bukan untuk sekedar menyetarakan melainkan bereksistensi dengan emansipasinya. Jika RA Kartini masih hidup sekarang ini, pasti ia akan menghancurkan serta meluruskan apa yang ia cita-citakam. Dulu dia bercita-cita agar supaya wanita dengan emansipasinya mampu mengurus serta mengemban tanggungjawabnya untuk mengurusi rumah, mengurus suami serta anak-anak nya dengan cerdas dan penuh kasih sayang. Dengan adanya emansipasi RA Kartini juga bercita-cita wanita masa yang akan datang tidak bodoh dengan tipu daya pria yang memisahkan anak mereka tanpa memberikan kebebasan kepada istrinya.
Emansipasi wanita di era globalisasi ini juga sedikit ketimpungan, bukan lagi pria yang mencari penggasilan, tetapi juga wanita. Saat mereka ditanya kenapa kerja, mereka akan bilang bantuin suami supaya penghasilannya lebih banyak dan cukup untuk semua. memang benar jika tidak dibantu nantinya penghasilan untuk hidup sehari-hari tidak akan cukup, tapi bukankah tidak semua keluarga?  Jika semua keluarga seperti demikian nantinya setiap  wanita yang ada di rumah akan keluar dan tugas mereka justru digantikan pria.
Misal di Bali, justru yang harus bekerja adalah wanita, sementara yang pria hanya berdoa di kuil saja. Seluruh pekerjaan rumah,  pergi ke pasar, mengurus anak adalah tugas wanita, seperti merekalah kepala keluarganya, bukan pria. Setiap wanita disana juga berpendidikan, tangguh dan sudah bekerja dari mereka kecil. Mereka sangat berpegang Teguh pada tradisi, banyak tradisi yang juga dilakukan perempuan. Disini eksistensi berjalan tetapi emansipasi yang terhambat. Lihat saja, yang bekerja justru wanita bukan prianya. Inilah yang disebut ketimpangan, emansipasi terlalu rendah, sedangkan eksistensi yang tinggi. Seharusnya emansipasi dan eksistensi berjalan selaras dan seimbang.
Dari adanya ketimpangan tersebut, seharusnya pemerintah juga meluruskan yang mana tugas pria dan yang mana tugas wanita.  Di Bali yang memang menjungjung tinggi adat sebenarnya hal tersebut tidak lah bermasalah karena mereka sudah punya patokan dan tuntunan, hanya saja jika dipindah tradisi ke luar Bali maka hal tersebut sangatlah tidak baik. Di Bali banyak sekali masyarakat luar negeri yang datang sehingga pekerjaan terbilang mudah, sementara buat yang lain?  Destinasi wisata mereka saja cukup untuk domestik, jika wanita yang bekerja sementara pria hanya duduk diam, sungguh tidak baik. Pria memiliki fisik yang kuat daripada pria, jadi merekalah yang seharusnya bekerja. Mau apalagi? Bukankah sudah tradisi? Maka, semoga wanita-wanita tersebut eksistensi dan emansipasinya terlindungi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendekatan Linguistik Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia

  PENDEKATAN LINGUISTIK DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA Dosen Pengampu : M. Bayu Firmansyah, M.Pd ­­ Disusun Oleh : Dewi Anta Sari PBSI 2016 B (16188201044) STKIP PGRI PASURUAN Jl. Ki Hajar Dewantara No 27-29 Pasuruan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2016/1017

Makalah Analisis Wacana Dalam Pembelajaran Bahasa

ANALISIS WACANA  DALAM PEMBELAJARAN BAHASA Dosen Pengampu : M. Bayu Firmansyah, M.Pd Disusun Oleh : Dewi Anta Sari PBSI 2016 B (16188201044) STKIP PGRI PASURUAN Jl. Ki Hajar Dewantara No 27-29 Pasuruan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2016/1017 ANALISIS WACANA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA Makalah Untuk Diseminarkan Dikelas PBSI 2016 B Dosen Pengampu : M. Bayu Firmansyah, M.Pd Disusun Oleh : Dewi Anta Sari (16188201043) STKIP STIT PGRI PASURUAN Jl. Ki Hajar Dewantara No 27-29 Pasuruan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2016/1017 KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat dan anugerah-Nya saya dapat menyelesaikan tugas  mata kuliah estetika sastra. Makalah yang berjudul “ Analisis Wacana Dalam Pembelajaran Bahasa ” ini saya buat dalam rangka menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Bapak M. Bayu Firmansyah , M.

Makalah Estetika Sastra - Analisis Puisi Catetan Th. 1946 Karya Chairil Anwar

ESTETIKA SASTRA Dosen Pengampu : Drs. M. Zaini, M.Pd Disusun Oleh : Dewi Anta Sari  (16188201044) STKIP PGRI PASURUAN Jl. Ki Hajar Dewantara No. 27-29 Pasuruan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Tahun Akademik 201 6 /201 7 KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat dan anugerah-Nya saya dapat menyelesaikan tugas  mata kuliah estetika sastra. Makalah yang berjudul “ Estetika Sastra ” ini saya buat dalam rangka menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Bapak Drs. M. Zaini, M.Pd selaku dosen mata kuliah Estetika Sastra.             Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada dosen mata kuliah ini selaku pembimbing, teman-teman yang telah memberi inspirasi, dan semua orang yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.             Saya sadar makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu saya sangat mengharapkan kritik d