ESTETIKA SASTRA
Dosen Pengampu :
Drs. M. Zaini, M.Pd
Disusun
Oleh :
Dewi
Anta Sari (16188201044)
STKIP PGRI PASURUAN
Jl. Ki Hajar Dewantara No. 27-29 Pasuruan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Tahun Akademik 2016/2017
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami ucapkan
kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat dan anugerah-Nya saya dapat
menyelesaikan tugas mata kuliah estetika
sastra.
Makalah yang berjudul “Estetika
Sastra” ini saya buat dalam rangka menyelesaikan tugas yang
diberikan oleh Bapak Drs.
M. Zaini, M.Pd selaku dosen
mata kuliah Estetika Sastra.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini,
khususnya kepada dosen mata kuliah ini selaku pembimbing, teman-teman yang telah
memberi inspirasi, dan semua orang yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Saya sadar makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu saya sangat
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca agar kedepannya makalah ini
dapat lebih baik lagi.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk saya khususnya dan bagi
para pembaca umumnya.
Pasuruan, 10 Mei 2017
Penyusun
|
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
................................................................................................
DAFTAR ISI
..............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang ........................................................................................
1
1.2 Batasan
Masalah ………………………………………………………. 1
1.3 Tujuan
…………………………………………………………………. 1
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Sastra dan Keindahan ……………………………………………...…. 2
2.2 Puisi ………………………………………….……………………….. 2
2.3 Makna Denotatif dan Makna Konotatif…………………………….… 3
2.4 Unsur Intrinsik
……………………………………………………….. 3
2.4.1
Majas/Gaya Bahasa ………………………………………….3
2.4.2 Tema
…………………………………………………………8
2.4.3 Rima
…………………………………………………………8
2.4.4 Diksi
…………………………………………………………9
2.4.5
Citraan …………….…………………………………………9
2.4.6
Nada/Suasana ………………………………………………. 9
2.4.7 Nilai
Etika/Moral ……………………………………………9
BAB III ANALISIS PUISI
3.1 Majas/Gaya Bahasa ...............................................................................14
3.2 Tema …………………………………………………………………..15
3.3 Rima ……………………………………………………………….….16
3.4 Diksi …………………………………………………………………..17
3.5 Citraan
……………………………………………………………….18
3.6 Nada/Suasana ………………………………………………………...19
3.7 Nilai Etika/ Moral ……………………………………………………19
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
...........................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA
............................................................................................21
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Kesusastraan berasal dari Bahasa
Sansekerta yaitu huruf Diwanagari berawal dari Su dan Sastra. Su artinya indah,
Sastra artinya karya/tulisan. Secara umum karya sastra terbagi kepada tiga:
yang berbentuk prosa, yang berbentuk puisi, dan yang berbentuk drama. Berikut
akan dipaparkan analisis puisi berupa Catetan Th. 1946 karya Chairil Anwar.
Judul tersebut th. 1946 tidak dapat
tidak mengingatkan peristiwa dalam kesejarahan Indonesia. Tahun 1946 Indonesia
dalam konfrontasi dengan Belanda yang ingin menjajah Indonesia kembali.
Indonesia dalam suasana perang dengan Belanda. Lebih-lebih lagi Indonesia
sehabis dijajah pemerintah militer Jepang. Keadaan serba sukar, tak ada
istirahat, orang tak sempat memikirkan kedamaian, tak merasakan ketentraman
Alasan saya memilih puisi Catetan
Th. 1946 karya Chairil Anwar adalah karena saya ingin tahu lebih bagaimana
perjuangan yang terjadi dan dilakukan pada tahun 1946 untuk melawan Belanda.
Adanya pengetahuan ini akan menjadikan saya lebih mengerti sejarah tanpa
meninggalkan inti serta daging dari sejarah itu sendiri. Saya memilih puisi ini
karena saya rasa lebih mendorong saya untuk mengetahui seluk beluk menganalisis puisi dengan baik.
1.2 Batasan
Masalah
1) Gaya
bahasa apa saja yang dipakai pengarang?
2) Gaya
bahasa apa yang paling dominan didalam karyanya?
1.3 Tujuan
1) Mendeskripsikan
gaya bahasa apa saja yang dipakai pengarang.
2) Mendeskripsikan
gaya bahasa yang paling dominan didalam karyanya.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Sastra dan
Keindahan
Sastra dapat didekati dari dua segi:
segi bahasa tentang tekanan pada aspek kebahasaanya dalam kaitan dan
pertentangannya dengan bentuk dan pemakaian bahasa yang lain; segi seni dalam
kaitan dan pertentangannya dengan bentuk-bentuk seni yang lain. Mendekati
sastra dari segi seni berarti mendekati sastra dari segi estetika atau
keindahan. Akan tetapi sastra lebih ditekankan pada aspek bahasanya karena
aspek seni pada sastra melekat pada penggunaan bahasa itu sendiri.
Keindahan
itu sebagai sebuah nilai, kualitas, maka keindahan dalam karya sastra terletak
pada nilainya sebagai karya seni. Sekali lagi, nilai karya sastra ditentukan
oleh pembaca. Karya sastra adalah struktur yang tetap (tidak akan berubah
sebelum diubah) sementara pembaca adalah pribadi yang berubah. Kalau dahulu, ia
menyatakan bagus, sekarang mungkin tidak dan di masa yang akan datang mungkin
bagus lagi. Begitulah keindahan dalam sastra. Adakalanya masyarakat mengikuti
kemauan pencipta; adakalanya pencipta mengikuti kemauan masyarakat. Nilai
keindahan karya sastra kadang-kadang ditentukan oleh masyarakat; kadang-kadang
pandangan masyarakat terhadap nilai keindahan ditentukan oleh
sastrawan.pengaruh mana yang kuat, itulah yang menentukan. Oleh karena itu,
keindahan dalam sastra berkaitan dengan penggunaan bahasa.
2.2
Puisi
Puisi adalah salah satu genre atau
jenis sastra. Sering kali istilah puisi disamakan dengan sajak. Akan tetapi,
sebenarnya tidak sama, puisi itu merupakan jenis sastra yang melingkupi sajak,
sedangkan sajak adalah individu puisi. Dalam istilah bahasa Inggrisnya puisi
adalah poetry dan sajak adalah poem. Memang, sebelum ada istilah
puisi, istilah sajak untuk menyebut juga jenis sastranya (puisi) atau pun
individu sastranya (sajak).
Penamaan puisi itu sesuai dengan
kepadatannya atau konsentrasinya, dalam bahasa belanda puisi disebut gedicht,
bahasa Jerman Dichtung; dalam istilah itu terkandung arti pemadatan
atau konsentrasi, dichten berarti membuat sajak dan juga berarti
pemadatan.
2.3 Makna
Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif adalah
makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem.
Jadi, makna denotative ini sebenarnya sama dengan makna leksikal. Umpamanya,
kata babi bermakna denotasi sejenis binatang yang biasa diternakkan untuk
dimanfaatkan dagingnya. Kata kurus bermakna denotative keadaan tubuh
seseorang yang lebih kecil dari ukuran yang normal. Kata rombongan bermakna denotative sekumpulan orang yang
mengelompok menjadi satu kesatuan’.
Kalau makna denotative
mengacu pada makna asli atau makna sebenarnya dari sebuah kata atau leksem,
maka makna konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna denotative
tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang
menggunakan kata tersebut. Umpamanya kata babi pada contoh diatas, pada
orang yang beragama Islam atau didalam masyarakat Islam mempunyai konotasi yang
negative, ada rasa atau perasaan yang tidak enak bila mendengar kata itu. Kata kurus
juga pada contoh diatas, berkonotasi netral, artinya, tidak memiliki nilai
rasa yang mengenakkan (unfavorebel); tetapi kata ramping, yang
sebenarnya bersinonim dengan kata kurus itu memiliki konotasi positif,
nilai rasa yang mengenakkan.
2.4
Unsur Intrinsik
Unsur Intrinsik adalah unsur yang
membangun suatu karya sastra dari dalam yang meliputi tema, rima, diksi, citraan,
nada/ suasana, majas/ gaya bahasa, nilai etika/ moral.
2.1.4.1 Majas/Gaya
Bahasa
Gaya bahasa adalah alat tertentu yang menggunakan bahasa
untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan pengarang sehingga pembaca atau
penikmat dapat tertarik atau terpukau atasnya. Apabila gaya bahasa yang dikapai
oleh pengarang telah menghasilkan daya tertentu kepada pembacanya, berarti gaya
bahasa yang digunakan telah mencapai plastis bahasa. Gaya
bahasa menurut Gorys Keraf (2004: 1-10) ada dua, yaitu 1)
gaya bahasa retoris 2) gaya bahasa kiasan.
Gaya Bahasa Retoris
Ć Aliterasi
Adalah semacam gaya bahsa yang berwujud
perulangan konsonan yang sama. Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang
dalam prosa, untuk perhiasan atau untuk penenkanan.
Ć Asonansi
Adalah semacam gaya bahasa yang berwujud
perulangan bunyi vocal yang sama. Biasanya dipergunakan dalam puisi,
kadang-kadang dalam prosa, untuk memperoleh efek penekanan atau sekadar
keindahan.
Ć Anastrof
atau inversi adalah semacam gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan
susunan kata yang biasa dalam kalimat.
Ć Apofasis
atau preterisio merupakan sebuah
gaya dimana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi sebenarnya ia
menekankan hal itu. Berpura-pura melindungi atau menyembunyikan sesuatu, tetapi
sebenarnya memamerkannya.
Ć Apostrof
Adalah semacam gaya yang berbentuk
pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir.
Ć Asidenton
Adalah suatu gaya bahasa yang berupa
acuan, yang bersifat padat dan mampat dimana beberapa kata, frasa, atau klausa
yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung.
Ć Polisidenton
Adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan
dari asidenton. Beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan
satu sama lain dengan kata-kata sambung.
Ć Kiasmus
Adalah semacam acuan yang terdiri dari dua
bagian, baik frasa/ klausa yang sifatnya berimbang, dan dipertentangkan satu
sama lain, tetapi susunan frasa/ klausanya itu terbalik bila dibandingkan
dengan frasa/kalusa lainnya.
Ć
Ellipsis Adalah
suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur yang dengan mudah dapat
diisi / ditafsirkan sendiri oleh pembaca / pendengar, sehingga struktur
gramatikal/ kalimatnya memenuhi pola yang berlaku.
Ć Eufemismus
Adalah semacam acuan berupa
ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan
yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina,
menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan.
Ć Litotes
Adalah semacam gaya bahasa yang dipakai
untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri.
Ć Hysteron
proteron Adalah gaya bahasa yang merupakan
kebalikan dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar.
Ć Pleonasme
atau tautologi adalah acuan yang mempergunakan
kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran
atau gagasan.
Ć Periphrasis
Adalah gaya yang mirip dengan pleonasme,
yaitu mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan.
Ć Prolepsis
atau antisipasi adalah semacam gaya
bahsa dimana orang mempergunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata
sebelum peristiwa atau gagasan yang sebenarnya terjadi.
Ć Erotesis
atau pertanyaan retoris adalah
semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato/ tulisan dengan tujuan untuk
mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali
tidak menghendaki suatu jawaban.
Ć Silepsis
atau zeugma adalah gaya dimana
orang mempergunakan dan kontruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata
dengan kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan
kata pertama.
Ć Koreksio
atau epanortosis adalah suatu gaya
yang berwujud mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya.
Ć
Hiperbola Adalah
semacam gaya bahasa yang mengandung suatu perrnyataan yang berlebihan, dengan
membesar-besarkan sesuatu hal.
Ć Paradoks
Adalah semacam gaya bahsa yang mengandung
suatu pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada.
Ć Oksimoron
Adalah suatu acuan yang berusaha untuk
menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan.
Gaya Bahasa Kiasan
Ć Persamaan
atau Simile adalah perbandingan
yang bersifat langsung menyatakan sesuatu yang sama dengan hal yang lain.
Ć Metafora
Adalah semacam analogi yang membandingkan
dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat.
Ć Alegori
Adalah suatu cerita yang mengandung
kiasan. Makna kiasan ini harus ditarik dari bawah permukaan ceritanya. Dalam
alegori nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang abstrak, serta tujuannya
selalu jelas tersurat.
Ć Parabel
Adalah suatu kisah singkat dengan
tokoh-tpkoh biasanya manusia, yang selalu mengandung tema moral. Istilah
parable dipakai untuk menyebut cerita-cerita fiktif di dalam kitab suci yang
bersifat religius. Untuk menyampaikan suatu kebenaran moral dan kebenaran spiritual.
Ć Fabel
Adalah semacam metafora berbentuk cerita
mengenai dunia binatang, dimana binatang-binatang bahkan makhluk-makhluk
yang tidak bernyawa bertindak
seolah-olah sebagai manusia. Tujuan fabel ialah menyampaikan ajaran moral atau
budi pekerti.
Ć Personifikasi
atau prosopoeia adalah semacam gaya
bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda
mati/ barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat
kemanusiaan.
Ć
Alusi Adalah
semcam acuan yang berusaha mensugestikan kesamaan antara orang, tempat, atau
peristiwa.
Ć Eponim
Adalah suatu gaya dimana seseorang yang
namanya begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehingga nama itu
dipakai untuk menyatakan sifat itu.
Ć Epitet
Adalah semacam acuan yang menyatakan
asuatu sifat atau ciri yang khusus dari seseoraang atau sesuatu hal. Keterangan
itu adalah suatu frasa deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama
seseorang atau suatu barang.
Ć Sinekdoke
Adalah semacam bahsa figurative yang
mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan atau
mempergunakan keseluruhan (pars prototo) untuk menyatakan sebagian (totem
pro parte).
Ć Metonimia
Adalah suatu gaya yang mempergunakan
sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang
sangat dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu untuk hasil penemuan, pemilik
untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk
menyatakan kulitnya, dan sebagainya.
Ć Antonomasia
Adalah gaya bahasa dari sebuah bentuk
khusus dari sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epitera untuk
menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan.
Ć Hipalase
Adalah semacam gaya bahsa dimana sebuah
kata tertentu dipergunakan untukb menerangkan sebuah kata, yang seharusnya
dikenakan pada sebuah kata yang lain.
Ć Ironi
Adalah suatu acuan yang ingin mengatakan
sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dari
rangkaian kata-katanya.
Ć Sinisme
Adalah suatu sindiran yang berbentuk
kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keihklasan atau ketulusan hati.
Ć Sarkasme
Merupakan suatu acuan yang lebih besar
dari ironi dan sinisme. Ia adalah suatu acuan yang mengandung kepahitan dan
celaan yang getir.
Ć
Paronomasia Adalah
kiasan dengan mempergunakan kemiripan bunyi.
2.4.2
Tema
Tema adalah gagasan sentral pengarang
yang mendasari penyusunan suatu cerita dan sekaligus menjadi sasaran dari
cerita itu. Tema merupakan barang abstrak. Oleh sebab itu, penentuannya harus
memahami terlebih dahulu bagian-bagian yang mendukung cerita itu, yaitu tokoh
dan perwatakannya, latarnya, suasananya, alurnya, dan persoalan yang
dibicarakannya. Apabila pembaca telah dapat menentukan atau menemukan tema dari
karya sastra yang dibacanya, berarti ia telah mengetahui apa tujuan pengarang
dalam ceritanya.
2.4.3 Rima
Perulangan bunyi atau rima yang
cerah, ringan, yang menunjukkan kegembiraan serta keceriaan dalam dunia puisi
disebut euphony. Biasanya bunyi-bunyi
i, e, dan a merupakan pleasantness
sound atau keceriaan bunyi itu. Sebagai lawan dari euphony adalah cacophony,
yaitu perulangan bunyi-bunyi yang berat, menekan, menyeramkan, mengerikan,
seolah-olah seperti suara desau atau bunyi burung hantu. Bunyi-bunyi mencekam
seperti ini berasosiasi dengan hantu hitam yang siap menerkam mangsanya.
Biasanya bunyi-bunyi seperti itu diwakili oleh vokal-vokal o, u, e atau diftong au (Rachmat
Djoko Pradopo, 1994: 37-38).
2.4.4 Diksi
Penyair
hendak mencurahkan perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya seperti
yang dialami batinnya. Selain itu, juga ingin mengekspresikannya dengan ekspresi
yang dapat menjilmakan pengalaman jiwanya tersebut, untuk itu haruslah dipilih
kata setepatnya. Pemilihan kata dalam sajak disebut diksi.
Untuk
ketepatan pemilihan kata sering kali penyair menggantikan kata yang
dipergunakan berkali-kali, yang dirasa belum tepat, bahkan meskipun sajaknya
telah disiarkan (dimuat dalam majalah), sering masih juga diubah kata-katanya
untuk ketepatan dan kepadatannya. Bahkan ada baris atau kalimat yang diubah
susunannya atau dihilangkan.
2.4.5 Citraan
Dalam puisi, untuk memberi gambaran yang jelas, untuk
menimbulkan suasana yang khusus, untuk membuat (lebih) hidup gambaran dalam
pikiran dan penginderaan dan juga untuk menarik perhatian, penyair juga
menggunakan gambaran-gambaran angan (pikiran), disamping alat kepuitisan yang
lain. Gambaran-gambaran angan dalam sajak itu disebut citraan (imagery). Macam- macam citraan: 1) Citraan penglihatan (visual imagery) 2) Citraan pendengaran (auditory imagery) 3) Citra perabaan (tactile/ thermal imagery) 4) Citraan
penciuman dan pencecapan 5) Citraan gerak (movement
imagery atau kinaesthetic imagery).
2.4.6 Nada /
Suasana
Nada
atau suasana atau mood yang terdapat dalam suatu peristiwa biasanya erat sekali
hubungannya dengan latar cerita. Latar cerita tertentu dapat menimbulkan suasana
tertentu. Suasana ini dapat berupa suasana batin dan dapat pula berupa suasana
lahir. Wujud suasana batin misalnya rasa tegang, benci, senang, acuh, simpati,
sendu, dan sebagainya. Wujud suasana lahir misalnya kesepian kota, keramaian
kota, kegersangan gunung kapur, kesuburan di daerah tambak, dan sebagainya.
2.4.7 Nilai Etika/ Moral
Karya sastra merupakan pancaran dari
hidup dan kehidupan. Dikaitkan demikian sebab karya sastra dihasilkan oleh
pengarang berdasarkan pengalaman hidupnya atau kehidupannya. Oleh sebab itu,
dari masalah atau persoalan yang dituangkan dalam karya sastra dapat dicari
atau ditarik nilai-nilai kehidupan. Dari nilai-nilai itu dapat ditarik
pelajaran atau kemanfaatan: yang baik dilaksanakan dan yang jelek ditinggalkan.
Nilai-nilai kehidupan yang ada dalam karya dapat berhubungan dengan
keagamaannya, etika, sosial, perjuangan atau pengorbanan, dan adat.
BAB III
ANALISIS PUISI
CATETAN TH. 1946
Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai,
Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut,
Dan suara yang kucintai kan berhenti membelai.
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.
Kita - anjing diburu - hanya melihat sebagian sandiwara
sekarang
Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau
di ranjang
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.
Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu
Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu
Kita memburu arti atau diserahkan kepada anak lahir
sempat,
Karena itu jangan mengerdip, tetap dan penamu asah,
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering
sedikit mau
basah!
Karya:
Chairil Anwar
NO
|
FOKUS
|
SUB FOKUS
|
SUMBER DATA
|
DATA
|
KODE DATA
|
1.
|
Perjuangan
|
Kesedihan
|
Puisi berjudul “Catetan Th. 1946” karya Chairil
Anwar
|
Jika bedil disimpan, cuma kenangan berdebu (baris ke-11)
|
01:11
|
Kalah/Menang
|
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering
sedikit mau (baris ke-14)
|
02:14
|
|||
Pantang Menyerah
|
Kita memburu arti atau diserahkan kepada anak
lahir sempat, (baris
ke-12)
|
03:12
|
|||
Karena itu jangan mengerdip, tetap dan penamu
asah, (baris ke-13)
|
04:13
|
||||
Tidak Merasa Tentram
|
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering
sedikit mau (baris
ke-14)
|
05:14
|
|||
Ketakutan
|
Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai. (baris ke-3)
|
06:3
|
|||
Kita - anjing diburu - hanya melihat sebagian
sandiwara (baris ke-5)
|
07:5
|
||||
Tidak Berdaya
|
Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai, (baris ke-1)
|
08:1
|
|||
Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut, (baris ke-2)
|
09:2
|
||||
Kematian
|
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut. (baris ke-4)
|
04:10
|
|||
Kesia-siaan
|
Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu (baris ke-10)
|
11:10
|
Puisi
berjudul Catetan Th.1946 menceritakan pengalaman penyair dalam berperang
melawan Belanda. Keadaan serba sukar, tak ada istirahat, orang tak sempat
memikirkan kedamaian, tak merasakan ketentraman. Yang ada hanyalah serba
ketakutan dan kegelisahan. Dalam suasana seperti ini orang harus bergerak dan
bertindak cepat, harus bekerja keras, dan menentang maut.
Pada
suatu saat nanti si aku akan tak dapat berbuat apa-apa lagi: tangannya terkulai
ke jemuan, pandangannya kabur, tak dapat melihat lagi segala yang menyenangkan,
an kehilangan semusa nyang di cintai. Si aku akan meninggal, dikubur, ditandai
dengan batu njisan yang dibuatnya sendiri sebab orang lain tak akan mengenang
dan memikirkannya. Disamping itu, harus diri sendirilah yang mesti membuat
peringatan bagi diri sendiri, yaitu dengan hasil karyanya sendiri.
3.1
Majas/ Gaya bahasa
Dalam
puisi berjudul “Catetan Th. 1946” karya Chairil Anwar terkandung beberapa gaya
bahasa/majas yang digunakan didalam karyanya. Gaya bahasa tersebut terdiri dari
7 macam (sinekdok pars prototo, personifikasi, hiperbola, metafora, asonansi,
inversi/anastrof, polisidenton).
Kata
‘tangan’ pada larik ada tanganku, sekali akan jemu terkulai, termasuk
gaya bahasa sinekdok pars prototo karena tangan menggambarkan keseluruhan yaitu
pusat kekuatan untuk bekerja. Begitu juga ‘suara’ pada larik dan suara yang
kucintai ‘kan berhenti membelai. Suara disini juga menggambarkan
keseluruhan yaitu bisa dari kekasih, isteri, anak, atau orang-orang yang
dicintai. Selanjutnya ‘jika bedil sudah disimpan’ hal ini menggambarkan bahwa
peperangan telah selesai.
Gaya
bahasa personifikasi terdapat dalam ‘mainan cahya’ dan ‘suara berhenti
membelai’. Keduanya seolah-olah menghidupkan benda mati seolah mereka adalah
benda hidup. Yang pertama mainan cahya yang sebenarnya cahya bukanlah anak
kecil yang mempunyai mainan, sehingga jelas cahya seolah-olah adalah makhluk
hidup. Selanjutnya ‘suara berhenti membelai’ dimana-mana suara hanya bisa
mendengar tanpa bisa membelai, yang bisa membelai yaitu ‘tangan’ sedangkan
disini disebutkan suara yang membelai, jelas bahwa suara dihidupkan dari status
‘benda mati’.
Selanjutnya
yaitu gaya bahasa hiperbola yang menyatakan suatu pernyataan yang berlebihan.
Terdapat dalam ‘berpeluk di kubur’, ‘jangan mengerdip’, ‘tenggelam beratus
ribu’. Bisakah didalam kubur seseorang berpelukan? Mengapa melarang sesuatu yang wajar? Lalu,
apakah mungkin tenggelam selama beratus ribu lamanya? Inilah yang dimaksudkan
dengan berlebihan.
‘kita
memburu arti’, ‘kertas gersang’, ‘penamu asah’, ‘kenangan berdebu’ termasuk
kedalam gaya bahasa metafora. Yaitu bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya
tidak menggunakan kata-kata pembanding. ‘kita memburu arti’ bukan ‘kita mencari
arti’, ‘kertas gersang’ bukan ‘tanah gersang’, ‘kenangan berdebu’ bukan
‘pakaian berdebu’. Gaya bahasa asonansi juga ikut andil dalam puisi tersebut,
terdapat dalam larik dan kita nanti tiada sawan lagi diburu, dalam larik
tersebut terdapat pengulangan huruf vocal i; dan kita nanti tiada
sawan lagi diburu.
Gaya
bahasa yang selanjutnya yaitu Inversi/Anastrof pada ‘anjing diburu’, penamu
asah’, ‘lagi diburu’. Ketiganya mengubah struktur, misal S-P menjadi P-S atau
sebaliknya. ‘anjing diburu’ seharusnya ‘diburu anjing’, ‘penamu asah’
seharusnya ‘asah penamu’, ‘lagi diburu’ seharusnya ‘diburu lagi’.
Gaya bahasa yang terakhir yaitu polisidenton pada ‘tetap dan penamu asah’,
‘lahir seorang besar’. Yang memiliki kata sambung pada larik dan larik
berikutnya.
Dalam
puisi yang berjudul “Catetan Th. 1946” Chairil Anwar lebih banyak menggunakan
gaya bahasa metafora ‘kita memburu arti’, ‘kertas gersang’, ‘penamu asah’, ‘kenangan
berdebu’. Artinya gaya
bahasa Metafora lah yang lebih dominan yang ada didalam karya pengarang
(Chairil Anwar).
3.2
Tema
Tema dari puisi berjudul Catetan Th. 1946 karya Chairil
Anwar adalah perjuangan.
Judul tersebut th. 1946
tidak dapat tidak mengingatkan peristiwa dalam kesejarahan Indonesia. Tahun
1946 Indonesia dalam konfrontasi dengan Belanda yang ingin menjajah Indonesia
kembali. Indonesia dalam suasana perang dengan belanda. Lebih-lebih lagi Indonesia
sehabis dijajah pemerintah militer Jepang. Keadaan serba sukar, tak ada
istirahat, orang tak sempat memikirkan kedamaian, tak merasakan ketentraman.
Yang ada hanyalah serba ketakutan dan kegelisahan. Dalam suasana seperti ini
orang harus bergerak dan bertindak cepat, harus bekerja keras, dan menentang
maut. Semua itu tergambar dalam sajak tersebut di atas.
3.3
Rima
Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai,
Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut,
Dan suara yang kucintai kan berhenti membelai.
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.
Kita - anjing diburu - hanya melihat sebagian sandiwara
sekarang
Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau
di ranjang
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.
Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu
Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu
Kita memburu arti atau diserahkan kepada anak lahir
sempat,
Karena itu jangan mengerdip, tetap dan penamu asah,
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering
sedikit mau
basah!
Ditinjau
dari persajakannya (rima), pada bait pertama baris ke satu, tiga, rasa dan arti
tak berdaya itu ditandai dengan semi vokal satu dan digabungkan dengan sajak
akhir ai: jemu terkulai/ berhenti membelai. Semuanya itu memperkuat arti
katanya yang sejajar: jemu/berhenti, dan rasa yang sejajar: terkulai/membelai,
yang menunjukan arti lemah. Hal tersebut diperkuat dengan sajak akhir
kabut/kupagut yang meberikan kesejajaran suasana berat. Bunyi a/u/t itu
mengingatkan dan menyarankan kata maut, sesuai dengan isi dan suasana kesedihan
dan ingatan akan kematian pada bait tersebut, dan bait-bait selanjutnya.
Sajak
akhir bait kedua baris ke satu adn kedua untuk membuat liris: sandiwara sekarang/dikubur
atau diranjang. Persejajaran bunyi (sajak dalam) baris keempat menandai dan
memperkuat kesejajaran arti: keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat’.
Bunyi
akhir baris pertama dan kedua bait ketiga diburu/berdebu, memperkuat suasana
murung, sedih. Begitu juga bunyi akhir baris keempat dan kelima: penamu asa /
mau basah! memperkuat arti usaha yang bersungguh-sungguh.
Sajak
akhir semua bait yang mengandung vokal berat u/a, dikombinasikan dengan bunyi
ai yang menyarankan ketakberdayaan pada bait pertama, semuanya itu memperkuat
suasana muram, murung, dan sedih yang dikandung sajak tersebut sesuai dengan
pilihan katanya yang menyarankan arti kematian, kesiasian, dan kesediaan: jemu
terkulai, hilang bentuk dalam kabut, berhenti membelai, batu nisan, kupagut,
anjing diburu, berpeluk dikubur, tenggelam beratus ribu, sawan diburu, kenangan
berdebu, kertas gersang, dan tenggorokan kering.
3.4 Diksi
Puisi
berjudul “Catetan Th. 1946” karya Chairil Anwar ini mengandung arti denotative
dan konotatif. Arti denotative terdapat pada kata ‘batu’ pada larik kupahat
batu nisan sendiri dan kupagut. artinya benda keras dan padat yg berasal
dari
bumi atau planet lain,
tetapi bukan logam. Kata ‘Romeo & Juliet’ pada
larik tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang. merupakan
cerita cinta yang memang sudah ada.
Begitu juga kata ‘kubur’ dan ‘ranjang’, kubur artinya lubang di tanah untuk
menanamkan mayat, ranjang artinya perabot rumah tangga yang terbuat dari besi atau kayu
dsb, dipakai untuk tempat tidur.
Pada kata ‘bedil’ dan ‘kenangan’
pada larik jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu, bedil
artinya senapan yang pada umumnya berlaras panjang (lebih panjang dari pistol) yang menggunakan peluru, meriam,
senjata api, sedangkan kenangan artinya sesuatu yang
membekas dari ingatan.
Yang
mengandung makna konotatif yaitu kata ‘tangan’. Tangan itu merupakan pusat
kekuatan untuk untuk bekerja. Jika tangan terkulai berarti seluruh diri akan
tak berdaya, dalam arti orang sudah tidak dapat bekerja dan berusaha lagi.
Selanjutnya pada kata ‘suara’ menyatakan
orang yang memiliki suara itu, yaitu kekasih, isteri, anak, atau orang-orang
yang dicintai. Suara merupakan pusat perhatian yang paling menarik si aku, maka
itulah yang ditonjolkan. Lebih jauh lagi, suara yang dicintai itu dapat berarti
suara-suara kehidupan sendiri yang dicintai oleh si aku, suara-suara kehidupan
yang membuatnya hidup.
Selanjutnya
kata ‘nisan’ bukan berarti makam melainkan menggambarkan karyanya, yang membuat
dia dikenang orang. Maka sepaya selalu dikenang orang harus berkarya (yang
hebat). Kata ‘anjing yang diburu’ berarti tak punya waktu istirahat, penuh
ketakutan karena diburu, kata anjing juga menyatakan bahwa kita ini dalam jaman
yang kacau, jaman yang penuh ketakutan itu hanya seperti anjing tidak mempunyai
kehormatan, dipandang rendah. Begitu juga peristiwa pergantian pemerintahan
digambarkan dengan visual: ‘lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu’.
Kemudian
‘kita memburu arti’ untuk menyatakan pekerjaan mencari arti itu dilakukan
dengan sungguh-sungguh, secara intensif, yaitu dengan sungguh-sungguh memberi
arti kehidupan ini dengan bekerja giat, berusaha dengan dengan sungguh-sungguh
dan sebagainya. ‘jangan mengerdip’ untuk menyatakan berusaha penuh perhatiaan
dan terus-menerus sehingga mata pun tidak berkedip. Sedang kehausan akan hidup
dicitra-rasakan ‘tenggorokan kering sedikit mau basah!’ ini lebih nyata
daripada ‘haus’ menjadi lebih konkret.
3.5 Citraan
1) Citraan penglihatan
Mainan cahya di air hilang bentuk dalam
kabut,
Kita - anjing diburu - hanya melihat
sebagian sandiwara
Tidak tahu Romeo & Juliet
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus
ribu
Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan
berdebu
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan
kering sedikit mau
2) Citraan pendengaran
Dan suara yang
kucintai kan berehenti membelai.
3) Citra perabaan
berpeluk
di kubur atau di ranjang
3)
Citraan gerak
Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai,
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat
tempat.
Kita memburu arti atau diserahkan kepada
anak lahir
3.6 Nada/Suasana
Suasana yang ada dalam puisi tersebut
yaitu suasana muram, murung, dan sedih yang dikandung sajak tersebut sesuai
dengan pilihan katanya yang menyarankan arti kematian, kesiasian, dan
kesediaan: "jemu terkulai", "hilang bentuk dalam kabut",
"berhenti membelai", "batu nisan", "kupagut",
"anjing diburu", "berpeluk dikubur", "tenggelam
beratus ribu', "sawan diburu", "kenangan berdebu",
"kertas gersang", dan "tenggorokan kering".
3.7 Nilai
Etika/Moral
Dari puisi “Catetan Th. 1946”
karya Chairil Anwar, kita dapat mengambil nilai etika/moral kehidupan berupa
keteguhan dalam berjuang, bukan hanya berjuang dalam peperangan fisik melainkan
juga perjuangan dalam peperangan batin. Dalam setiap perang hendaknya kita
tidak pernah putus asa, menyerah dan takut kalah. Yang harus kita lakukan
adalah berjuang sepenuh hati dan dengan seluruh kekuatan, niscaya Tuhan-lah
yang akan menentukan hasilnya.
BAB IV
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
Dalam puisi Catetan Th. 1946 karya Chairil Anwar memiliki tema tentang perjuangan yang
menceritakan kerja keras 'aku' saat perang dalam menghadapi pemerintahan
Belanda. Chairil Anwar memilih diksi yang cenderung mengandung makna konotatif.
Gaya bahasa yang paling dominan digunakan oleh Chairil Anwar dalam puisi “Catetan Th. 1946” yaitu gaya bahasa
metafora. Gaya bahasa metafora adalah semacam gaya bahasa yang berwujud . Puisi
“Catetan Th. 1946” memiliki rima
berupa cacophony, yaitu perulangan
bunyi-bunyi yang berat, menekan, menyeramkan, mengerikan.
DAFTAR PUSTAKA
Apresiasi
Sastra Malang: Yayasan Asih Asah Malang (Y A 3 MALANG).
Atmazaki. 1990. Ilmu Sastra:
Teori dan Terapan. Padang: Penerbit Angkasa Raya.
Chaer,
Abdul. 2012. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Pradopo,
Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi.Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1994. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Tarigan,
Henry Guntur. 1984. Prinsip-Prinsip Dasar
Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa.
Komentar
Posting Komentar