Mengajar dengan Zona Perkembangan Proksimal (ZPD): Seni Menemani Siswa Bertumbuh

Hai Guru Profesional!

Salam Pendidikan!

Salam Literasi!

Selamat datang di blog saya!

Saya Dewi Anta Sari sering dipanggil Dewi, saya merupakan Mahasiswa PPG Pra-Jabatan Gelombang 1 Tahun 2024 LPTK Universitas Wisnuwardhana Malang. Saat ini saya sedang menempuh semester 2 tidak terasa akan berakhir masa studinya.

Saya adalah seorang calon guru yang sedang dalam perjalanan untuk memahami seluk-beluk dunia pendidikan. Dalam postingan kali ini, saya ingin berbagi refleksi saya tentang mata kuliah Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan, khususnya topik 4 dimensi Zona Perkembangan Proksimal (ZPD). Saya akan memberikan tulisan refleksi menggunakan alur MERDEKA yang terdiri dari mulai dari diri, eksplorasi konsep, ruang kolaborasi, demonstrasi kontekstual, elaborasi pemahaman, koneksi antar materi dan aksi nyata. 

Nah, di blog ini, saya akan mencatat perjalanan saya menelusuri lanskap sosiokultural pendidikan. Siap menemani? Mari kita mulai petualangan ini bersama!

Mulai Dari Diri: Ketika Guru Bukan Sekadar Pengajar

Sebelum belajar tentang Zona Perkembangan Proksimal (ZPD), saya berpikir bahwa tugas utama guru adalah mengajar dan memastikan materi tersampaikan dengan baik. Saya percaya bahwa siswa harus bisa mandiri dalam belajar, dan peran guru hanyalah sebagai fasilitator. Namun, saya belum memahami bagaimana cara mendukung siswa agar bisa mencapai potensinya secara optimal.


Eksplorasi Konsep: Jarak Tak Kasat Mata dalam Proses Belajar

Lalu, saya mulai memahami bahwa ZPD adalah tentang jarak antara apa yang bisa dilakukan siswa sendiri dengan apa yang bisa mereka capai dengan bantuan orang lain. Ternyata, ada seni tersendiri dalam memberi tantangan yang tepat kepada siswa:

Jika tantangan terlalu mudah, mereka cepat bosan.

Jika terlalu sulit, mereka bisa frustrasi dan menyerah.

Di sinilah peran scaffolding (bantuan bertahap) menjadi krusial. Guru harus tahu kapan memberi dukungan dan kapan melepasnya agar siswa bisa tumbuh secara mandiri.


Ruang Kolaborasi: Belajar dari Teman, Bukan Hanya dari Guru

Dalam sesi diskusi bersama rekan-rekan, saya menyadari bahwa ZPD tidak hanya diterapkan dalam hubungan guru-siswa, tetapi juga antar teman sebaya. Beberapa temuan menarik dari diskusi:

1) Siswa sering lebih nyaman belajar dari teman sebayanya.

2) Diskusi kelompok dapat menjadi bentuk scaffolding alami dalam kelas.

3) Guru perlu merancang tugas yang memungkinkan interaksi dan eksplorasi bersama.

Dari sini, saya berpikir: bagaimana jika dalam kelas saya nanti, saya lebih banyak menggunakan metode peer teaching dan diskusi berbasis proyek?


Demonstrasi Kontekstual: Tantangan Memberi Dukungan yang Pas

Ketika mencoba menerapkan konsep ini dalam rancangan pembelajaran, saya menemukan tantangan utama: memberi bantuan yang pas itu tidak mudah!.

1) Jika terlalu banyak memberi petunjuk, siswa jadi bergantung dan kurang berpikir sendiri.

2) Jika terlalu sedikit memberi petunjuk, mereka bisa kehilangan arah.

Akhirnya, saya belajar bahwa kuncinya ada pada:

🔹Observasi yang baik → Kenali kapan siswa mulai merasa kesulitan.

🔹Pertanyaan pemandu → Ajak mereka berpikir dengan pertanyaan terbuka.

🔹Dorongan bertahap → Mulai dari bantuan kecil, lalu perlahan dikurangi hingga mereka bisa mandiri.


Elaborasi Pemahaman: Dari yang Saya Pikirkan ke yang Saya Sadari

Sebelumnya, saya pikir semua siswa bisa belajar dengan cara yang sama. Sekarang, saya sadar bahwa setiap siswa memiliki zona perkembangan yang unik. Jika ingin mereka berkembang, saya harus menyesuaikan strategi saya dengan kebutuhan mereka.

Hal baru yang saya pahami:

Siswa tidak hanya perlu materi, tapi juga bimbingan yang sesuai dengan level mereka.

Diskusi dan kolaborasi dapat menjadi alat scaffolding yang efektif.

Saya perlu belajar lebih banyak tentang asesmen formatif untuk memahami ZPD siswa dengan lebih akurat.


Koneksi Antar Materi: ZPD dan Pembelajaran Sosial-Emosional

Ternyata, konsep ZPD ini juga sangat relevan dengan Pembelajaran Sosial Emosional (PSE). Saat siswa merasa didukung dalam proses belajarnya, mereka juga mengembangkan keterampilan seperti resiliensi, kesadaran diri, dan keterampilan sosial.

Selain itu, saya melihat bagaimana ZPD berkaitan erat dengan kurikulum diferensiasi yang saya pelajari dalam mata kuliah Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Untuk benar-benar menerapkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan siswa, saya harus memahami di mana mereka berada dalam perkembangan mereka.


Aksi Nyata: Seberapa Siap Saya?

Menerapkan ZPD dalam kelas bukan hanya tentang memahami teori, tetapi juga soal bagaimana saya membangun lingkungan belajar yang mendukung pertumbuhan siswa.


Manfaat untuk saya sebagai guru:

Saya lebih sadar bahwa tidak semua siswa bisa diperlakukan dengan cara yang sama

Saya ingin lebih banyak menggunakan diskusi berbasis proyek dan peer teaching.

Saya lebih percaya diri dalam merancang scaffolding yang efektif.


Seberapa siap saya?

Dari skala 1-10, saya menilai diri saya 8. Saya mulai memahami konsep ini dengan baik, tetapi masih perlu lebih banyak pengalaman langsung dalam menerapkannya di kelas.


Apa yang perlu saya persiapkan lebih lanjut?

Mempelajari strategi asesmen formatif untuk lebih mudah mengidentifikasi ZPD siswa.

Mengembangkan metode scaffolding yang lebih variatif agar dapat diterapkan di berbagai kondisi kelas.

Mencoba gamifikasi dalam pembelajaran puisi, sesuai dengan rencana PTK saya.


Kesimpulan: Menjadi Guru yang Tumbuh Bersama Siswa

Saya menyadari bahwa peran guru bukan hanya menyampaikan materi, tetapi juga menemani proses tumbuhnya pemahaman siswa. Dengan memahami ZPD, saya bisa lebih peka dalam memberikan tantangan yang sesuai—tidak terlalu mudah, tidak terlalu sulit, tetapi cukup untuk membuat mereka berkembang.

Sekarang, saya ingin terus belajar dan mengeksplorasi lebih banyak strategi agar kelak saya bisa menjadi guru yang bukan hanya mengajar, tetapi juga membimbing siswa dalam perjalanan mereka mencapai potensi terbaiknya.


Komentar