Hai Guru Profesional!
Salam Pendidikan!
Salam Literasi!
Selamat datang di blog saya!
Saya Dewi Anta Sari sering dipanggil Dewi, saya merupakan Mahasiswa PPG Pra-Jabatan Gelombang 1 Tahun 2024 LPTK Universitas Wisnuwardhana Malang. Saat ini saya sedang menempuh semester 2 tidak terasa akan berakhir masa studinya.
Saya adalah seorang calon guru yang sedang dalam perjalanan untuk memahami seluk-beluk dunia pendidikan. Dalam postingan kali ini, saya ingin berbagi refleksi saya tentang mata kuliah Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan, khususnya topik 5 dimensi Pendekatan, strategi, metode, dan Teknik pembelajaran yang diterapkan sebagai scaffolding pada ZPD. Saya akan memberikan tulisan refleksi menggunakan alur MERDEKA yang terdiri dari mulai dari diri, eksplorasi konsep, ruang kolaborasi, demonstrasi kontekstual, elaborasi pemahaman, koneksi antar materi dan aksi nyata.
“Terkadang, kita hanya butuh satu tangan yang sabar memegang tangga, agar kita berani naik ke anak tangga berikutnya.”
Sebelum saya benar-benar menyelami mata kuliah ini, saya kira proses belajar itu seperti berjalan lurus—ada tujuan, ada metode, selesai. Tapi setelah belajar tentang scaffolding dalam Zone of Proximal Development (ZPD), saya sadar... ternyata mengajar itu seperti membangun tangga kecil yang tak terlihat, satu demi satu, untuk setiap anak.
Awalnya saya menganggap scaffolding itu sekadar “membantu anak saat kesulitan.” Tapi ternyata, scaffolding lebih dari itu—ia adalah proses merancang bantuan yang tepat, pada saat yang tepat, dengan cara yang paling pas, agar siswa bisa melampaui dirinya yang sekarang.
Eksplorasi konsep: Apa yang Saya Pelajari?
Saya mulai melihat bahwa setiap anak punya dua sisi:
1. Kemampuan aktual — apa yang mereka bisa lakukan sendiri.
2. Kemampuan potensial — apa yang bisa mereka capai jika diberi bimbingan.
Di situlah scaffolding hadir. Ia menjadi jembatan dinamis yang dibangun guru berdasarkan hasil asesmen awal. Jadi bukan hanya “asal bantu”, tapi bantuan yang disesuaikan dengan kebutuhan nyata siswa.
Ruang kolaborasi: Belajar Bersama Teman, Belajar dari Diri Sendiri
Saya belajar bahwa bentuk scaffolding bisa beragam: petunjuk, contoh, pertanyaan berpandu, instruksi bertahap, bahkan intervensi emosional seperti dukungan motivasi. Saat praktik kolaborasi bersama rekan-rekan, saya banyak belajar hal-hal yang tidak ada di modul. Misalnya, ternyata pertanyaan reflektif yang tepat waktu bisa jauh lebih efektif daripada penjelasan panjang. Atau bagaimana menggunakan contoh visual bisa membantu anak dengan gaya belajar spasial.
Di ruang kolaborasi, saya juga belajar satu hal penting: scaffolding juga berlaku untuk rekan kerja. Saling bantu, saling dengar, dan saling memberi ruang berkembang.
Demonstrasi kontekstual
Saya menyadari bahwa scaffolding bukan hanya soal strategi guru, tapi juga tentang kerja sama dalam tim. Saya belajar mengenali gaya kerja rekan saya, berlatih menyampaikan bantuan dengan tepat sasaran, dan mengevaluasi respons siswa. Saya juga semakin paham bahwa diri saya perlu terus mengembangkan sensitivitas dalam membaca kebutuhan siswa.
Elaborasi pemahaman
Sejauh ini, saya memahami bahwa scaffolding adalah bagian dari prinsip asesmen dan pengajaran yang responsif. Ia sangat terhubung dengan asesmen awal, diferensiasi, dan strategi formatif. Dulu saya kira proses belajar itu soal transfer ilmu. Sekarang saya sadar: mengajar adalah tentang menemani proses berpindah. Dari tidak bisa, menjadi bisa. Dari ragu, menjadi yakin.
Hal baru yang saya pahami dan berbeda dari awal adalah bahwa scaffolding tidak hanya digunakan saat kesulitan, tapi bisa dirancang sejak awal sebagai bagian dari strategi pembelajaran — dan bahkan bisa di-fading secara bertahap.
Hal yang ingin saya pelajari lebih lanjut adalah bagaimana menerapkan scaffolding dalam kelas besar dengan kemampuan siswa yang sangat beragam, dan bagaimana memadukannya dengan teknologi (misalnya dalam pembelajaran berbasis digital).
Koneksi antar materi
Saya juga melihat koneksi yang erat antara topik ini dengan mata kuliah Pembelajaran Sosial Emosional—karena memberikan rasa aman secara psikologis adalah bentuk scaffolding emosional. di mana saya belajar bahwa memberikan rasa aman dan koneksi emosional juga merupakan bentuk scaffolding. Ini juga terkait erat dengan Literasi Lintas Pelajaran, di mana strategi baca-tulis harus dirancang bertahap sesuai ZPD siswa.
Aksi nyata
Manfaat pembelajaran ini bagi saya sebagai calon guru adalah saya menjadi lebih peka, reflektif, dan terencana dalam merancang pembelajaran. Tidak ada lagi pendekatan “satu strategi untuk semua”. Saya belajar pentingnya memahami siapa yang saya ajar dan bagaimana mereka belajar.
Dimana saya sekarang?
Kalau saya harus menilai kesiapan saya dari skala 1 sampai 10, saya akan jujur bilang 8. Saya sudah punya pondasinya, tapi saya butuh lebih banyak latihan di kelas nyata. Saya ingin belajar lebih banyak tentang:
• Cara menyusun scaffold yang fleksibel.
• Mengelola kelas yang heterogen dalam kemampuan.
• Dan tentu saja, bagaimana melakukan “fading”—karena bantuan yang baik bukan yang selalu ada, tapi yang tahu kapan harus pergi.
Yang perlu saya persiapkan lebih lanjut adalah membuat template rancangan scaffolding berbasis asesmen awal, serta mengembangkan strategi fading agar siswa tidak terlalu tergantung pada bantuan. Saya ingin terus belajar, terus tumbuh. Karena pendidikan yang baik, bukan yang seragam—tapi yang tahu di mana siswa berada, dan membimbing mereka ke mana mereka bisa pergi.
Jika kamu juga sedang belajar menjadi guru, mari kita bangun tangga-tangga kecil itu bersama. Satu demi satu. Dengan hati.
Komentar
Posting Komentar